0 komentar

cerpen Muttaqin Zaenal (Radar Banten, 09 Agustus 2009)



CERITA SUBHAN, “Keluarga Dinasti dan Anak Ayam”
Oleh Muttaqin Zaenal*

CERITA SUBHAN (1)
Subhan adalah seorang pemimpi. Semua orang juga bisa bemimpi bukan. Di sini Subhan. Beruntungah ia, bisa bermimpi. Hari ini Subhan bermimpi mendapatkan secangkir batok air kelapa muda. Subhan tak tahu arti dari mimpi tersebut. Tapi ia bisa menduga bahwa sebentar lagi ia akan dikaruniai seorang anak dari istrinya yang pertama. Subhan beristri tiga, dan istri yang pertama itu buta. Sehingga Subhan ingin membuktikan bahwa istrinya yang pertama itu beranak seperti anak yang tidak buta. Sering kali istrinya yang pertama itu dicemoohi oleh kedua istri Subhan yang lain. “Buat apa Mas punya istri yang pertama itu? Dia kan buta, pasti nanti anak yang dilahirkannya buta. Istrimu yang pertama itu Mas, sudah buta sejak lahir jadi kalaupun punya anak pasti anaknya tidak jauh berbeda dengan ibunya.” Begitu setiap kali Subhan mendengar omelan dari kedua istrinya yang lain setelah senja mengirimkannya pulang ke rumah.
Malam hari, Subhan mendapat tugas untuk mengamankan desa alias siskamling. Setelah meminum secangkir kopi yang disuguhkan oleh istrinya yang pertama, ia berangkat ke pos ronda. Sebagai seorang pejabat, Subhan tidak pernah absen dalam hal kepentingan bersama. Dengan kopeah di kepala, sarung dipundak dan memakai celana panjang yang tahan dingin, Subhan ibarat sebuah bola api yang terlempar dari langit untuk menerangi persawahan, ladang dan sungai-sungai. Subhan terbilang laki-laki yang ramah, baik, sopan, dan tulus dalam memberikan pertolongan kepada siapa pun. Termasuk kepada kedua istrinya yang iri melihat Subhan lebih sayang kepada istrinya yang pertama. Kedua istrinya itu bisa dibilang bukan istri yang secara sah, mereka sebenarnya masih dalam saudara sepersusuan. Istri yang kedua adalah anak adiknya paman yang diadopsi oleh orang tua Subhan ketika ia masih kecil. Dan istri yang ketiga adalah anak kakaknya paman yang kuliah di Australia. Jadi kedua istri itu terbilang masih saudara dengan Subhan. Orang tuanya yang menginginkan demikian. Orang tuanya berpikir bahwa harta-harta yang akan diwarisi oleh Subhan tidak boleh diambil orang lain. Apakah ini termasuk sistem Dinasti.
Lalu bagaimana dengan istrinya yang pertama. Istrinya yang pertama adalah seorang gadis desa yang cantik yang dinikahi Subhan karena ia korban para pejabat yang telah menggusur rumah si gadis. Orang tua si gadis meninggal dalam penggusuran itu. Subhan lalu menikahi gadis itu. Subhan memang berasal dari sebuah keluarga yang berada. Bapaknya seorang mantan Gubernur, dan ibunya seorang anggota dewan. Dan Subhan, ia mewarisi jabatan itu. Seakan jabatan adalah hak keluarga yang orang lain dilarang mendapatkannya. Lagi-lagi ini adalah sistem Dinasti.
***
Ini adalah sebuah keluarga yang unik. Semua berambisi menguasai harta. Mending kalau harta punya sendiri. Tapi kan harta rakyat. Dari mulai orang tua, mertua, menantu, paman, dan bibi. Semuanya menjadi seorang pejabat. Mulai dari pejabat kelurahan, bupati, anggota dewan, sampai Gubernur. Subhan tidak memungkiri itu. Ia hanya dilahirkan untuk menuruti semua titah orang tua dan saudara-saudaranya. Padahal sebenarnya ia hanya ingin menjadi manusia biasa. Bekerja serabutan, petani maupun seorang pedagang pun tak apa-apa. Asalkan ia tidak dicap sebagai putra dari keluarga Dinasti, yang selalu mengaturnya.
Subhan berpikir, andaikan saja ia dilahirkan dari seekor ayam. Ayam, jika melahirkan seekor anak, ia akan selalu menjaga anak itu sampai dewasa. Jika anaknya kedinginan, sang induk akan segera melebarkan sayapnya dan bersiap merangkul semua anak-anaknya. Tanpa terkecuali. Jika senja hari, sang induk akan mengabsen satu persatu anaknya. Jika sang induk merasa ada salah satu anaknya yang tidak ada, maka lantas ia akan mencari anaknya itu sampai ia merasa yakin bahwa anaknya tidak terjadi apa-apa. Begitulah Subhan, jika ia membayangkan menjadi anak ayam.
CERITA SUBHAN (2)
Sebuah rumah didirikan. Beratap papan dan seng. Berdinding kayu-kayu sisa pembuatan jendela dan pintu. Sama sekali bukan disebut rumah yang dihuni oleh para teknokrat. Ini hanya rumah orang-orang yang mempunyai beberapa lembar baju dan celana. Tidak ada gordin yang menggantung di jendela. Tidak ada televisi, tapi bukan radio. Tidak ada sebuah hiasan yang menggantung di dinding, tapi bukan foto masa kecil ayah dan bunda.
Nama ayahku Subhan. Ia menikahi istrinya, ibuku, tiga puluh tahun yang lalu ketika beliau masih saling jatuh cinta. Apakah sekarang tidak saling cinta? Itu seharusnya yang aku pertanyakan kepada ayahku. Aku hanya bilang kepada ayahku, “Belikanlah sebuah mukena untuknya.”
***
Seekor anak ayam yang baru keluar dari vagina sang induk tidak lantas menjadi seekor anjing. Meskipun sang induk diperkosa oleh sang anjing. Ayahku memang pernah berpikir untuk menjadi seekor anak ayam. Anak ayam selalu dekat dengan induknya, begitu alasan ayahku. Tapi ayahku tetaplah manusia. Tidak bisa menjadi binatang. Namun, kali ini ia salah dalam menilai kehidupan ayam. Memang sang induk ayam selalu menjaga, merawat, memberi makan anak-anaknya ketika kecil. Tapi bagaimana kehidupan ayam setelah dewasa? Sang induk melepas anak-anaknya, seakan-akan ia tidak lagi menganggap bahwa dirinya mempunyai anak. Sang induk menyuruh anak-anaknya untuk mencari kehidupan masing-masing. Tidak lagi tergantung kepada sang induk. Bahkan inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Bagaiamana pun keadaannya, ketika manusia telah dewasa, sang ibu tetap mengganggap dan mengaku kepada anak-anaknya. Meskipun kini sang anak tinggal jauh dengan ibunya. Tapi hewan, ia bahkan tak mau mengaku dan mengganggap anak-anaknya. Ya, hewan tidak memiliki rasa dan perasaan, berbeda dengan manusia. Apakah ini kisah ayahku? Ya.
***
Ayahku, Subhan, yang dulu dikenal sebagai anak pejabat, keturunan dinasti, atau penguasa rakyat. Kini tinggal bersama seorang istrinya yang buta. Tinggal di sebuah rumah, namun bukan disebut rumah anak pejabat. Beratap papan dan seng sisa pembuatan jendela dan pintu. Ia memilih hidup sebagai rakyat biasa. Ia tidak lagi hidup bersama keluarganya yang semuanya seorang pejabat. Ia merasa sudah tidak lagi sejalan dengan jalan pikirannya. Ia lalu pergi dari rumah, beserta istrinya dan membawaku yang masih ingusan. Terus terang aku bangga dilahirkan sebagai anaknya. Ayahku telah memilih untuk hidup sebagai orang yang sederhana. Tidak mau lagi disuapi ini-itu. Disuruh ini-itu. Dan bekerja ini-itu. Meskipun ia beristri seorang yang buta, berasal dari kalangan bawah, ayahku tetap cinta kepada beliau. Semua orang menyangka aku lahir buta sebagaimana pembawaan dari ibuku. Namun, aku dilahirkan dengan fisik yang sempurna, tidak buta.
Kini usiaku 20 tahun. Aku bisa memilih apakah hidup dengan keluarga dinasti ataukah menjadi anak ayam.

Read More......